Fenomena
menjamurnya bank yang berbasis syariah tidak hanya terjadi pada negara Eropa
dan negara lainnya, di Indonesia pun tumbuhnya bank syariah yang diawali dengan
lahirnya Bank Muamalat telah membawa suasana baru bagi ummat Islam di
Indonesia. Selain sebagai alternatif lain dari sistem perbankan konvensional
yang telah mengalami krisis dan likuidasi, menjanjikan profit yang melebihi
dari praktek ekonomi konvensional, keinginan untuk menjalankan Islam secara
kaffah demi memperoleh keuntungan duniawi dan ukhrowi juga membuat bank syariah
menjadi solusi bagi kebanyakan muslim Indonesia.
Dalam
memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat dan persaingan bisnis, lembaga keuangan
syariah dan bank-bank syariah membutuhkan beragam inovasi produk. Dan untuk
penerapan produk yang inovatif, fatwa syariah dan regulasi yang mendukung
sangat dibutuhkan eksistensinya. Sehubungan dengan itu peran Dewan Pengawas
Syariah Nasional, Bank Indonesia dan peletak kebijakan lainnya menjadi sangat
penting.
Berbagai
fatwa telah dikeluarkan DSN-MUI sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas
ummat Islam di tanah air terutama yang berkaitan dengan prektek perekonomian
Islam. Namun pada prakteknya terdapat prosedur dan kebijakan bank-bank syariah
yang bertentangan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional MUI. Kita dapat melihat
fakta tersebut dari beberapa contoh berikut, seperti: akad Mudharabah (dimana
keuntungan dan kerugian tidak ditanggung secara bersama oleh pihak bank dan
penerima pembiayaan. Dalam hal ini yang menerima pembiayaan wajib mengembalikan
modal secara utuh); lalu akad Murabahah (bank hanya berperan sebagai
intermediasi tanpa pernah membeli barang yang dibutuhkan nasabah); lalu akad
Gadai Emas/Rahn ( besar biaya administrasi pemeliharaan dan penyimpanan/marhun
ditentukan berdasarkan jumlah dan persentase dari nilai piutang, jika bank
syariah bersedia menerapkan fatwa tentang biaya penyimpannan marhun sesuai
dengan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan, tentu pihak bank akan
hanya menentukan biaya berdasarkan harga safe deposit box, bahkan dalam hal ini
tampak bahwa bank syariah lebih mencekik dari bank konvensional). Dan akad-akad
inilah yang paling banyak ditransaksikan dalam perbankan syariah di Indonesia.
Dari sini dapat dipahami bahwa terjadi manipulasi ataupun pergeseran ketentuan
yang diformat sedemikian rupa sehingga 'menjebak' semua pihak yang terkait
(dalam hal ini pihak bank dan nasabah) untuk tetap mempraktekkan sistem ribawi
yang justru harus ditinggalkan dalam sistem perbankan syariah.
Jika kita
analisa ini dengan kaidah Al-umur bi maqashidihaa : segala
perkara itu tergantung tujuan-tujuannya. Jika salah tujuannya maka salah pula
akibatnya. Lalu bagaimana pula dengan akibat dari kesalahan perkara perbankan
syariah ini? Tidak hanya ummat yaang dirugikan, sistem perbankan syariah pun
menjadi 'rusak' karena tercampur unsur ribawi, lalu siapakah yang harus
bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan kerugian dan kemudharatan ini?
Kemudian
langkah apa yang harus diambil
demi merubah pola akad 'tercemar' seperti ini?
Sebagaimana
dapat kita pahami bahwa tujuan distribusi kekayaan dalam Islam adalah membangun
sistem ekonomi yang dapat dilaksanakan tanpa adanya tekanan (Az-Zukhruf:32)1, setiap
orang pun berhak untuk mendapatkan hak/rizqi karena sudah merupakan ketetapan
Allah dan tidak terbatas pada orang-orang yang terlibat produksi saja
(Al-Ma'arij:24-25)2, dan harta harus dapat berputar dengan baik pada
seluruh lapisan masyarakat (Az-Zukhruf:32).
Riba bukan
hanya persoalan ummat Islam. Berbagai kalangan di luar Islam pun memandang
serius tentang riba. Dalam agama Yahudi, Nasrani, maupun dalam sejarah
peradaban Yunani dan Romawi praktik riba merupakan prilaku sosial yang dilarang
juga tidak disukai karena ketidakberpihakannya pada golongan lemah. Riba
sendiri adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil
dan bertentangan dengan kaidah prinsip dasar muamalat Islam. Peringatan Allah
dalam Al-Quran tentang haramnya riba ditekankan dalam tahapan-tahapan: dimulai
dengan Q.S Ar-Rum:39 3 dilanjutkan
An-Nisa 160-161 4, lalu
penekanan pada kalimat larangan adh'afan mudho'afah (double countable) pada Ali
Imron :130 5, lalu
Al-Baqarah :275-281 6. Dan banyak
pula hadits yang menyebutkan tentang keharaman dan mudharat riba. Dengan riba
terdapat ketidakadilan dalam perekonomian, dan orang pun akan malas berusaha.
(Sebagai
bahan diskusi terdapat pandangan-pandangan utama tentang riba yang dijadikan
bandingan:
1. Riba oleh A.
Hasan
2. Riba menurut
hasil diskusi tentang adh'afan mudho'afah - beda antara interest dan usury - di Perancis.)
Lalu, apakah
bank syariah sudah pantas menyandang titel syariah? Yang notebenenya lebih
dikarenakan demi menarik simpati ummat atau 'pasar'. Dan apakah bank syariah
telah menerapkan Kaidah dan aturan sesuai syariah?
Banyak para
penggiat perbankan syariah dan ulama yang mempertanyakan ke-syariah-an bank
syariah.
Banyak bank
syariah yang melanggar fatwa DSN MUI yang terkait keuangan syariah.
Sejatinya nilai
sesuatu itu pada hakikatnya bukan pada istilahnya. Walaupun nama istilah
tersebut yang dilabelkan sudah syar'i tetapi belum tentu hakikatnya syar'i.
Karena tidak semua nama yang menunjukkan syar'i itu mengandung kebenaran. Lalu
haruskah dengan ini masyarakat meninggalkan bank syariah karena ternyata dengan
bank konvensionalpun kebutuhan mereka terhadap perbankan pun dapat dipenuhi
tanpa embel-embel syariah.
Namun
demikian jika dipandang dari perspektif kenegaraan, maka sistem ekonomi syariah bukanlah
pilihan bagi warga negara melainkan sebagai alternatif yang tergantung pada
komitmen, selera, keyakinan masing-masing, dan juga sangat ditentukan dengan
hal-hal yang intrinsik yang melekat dalam sistem ini, sehingga memiliki daya
pikat tersendiri dibandingkan dengan sistem konvensional, seperti keunggulan
kompetitif, manusiawi, mendatangkan maslahat buat semua pihak, dan lainnya.
Bisnis
syariah ini memang mempunyai potensi yang begitu baik dari sisi investasi
dan varian produknya maupun dari sisi pangsa pasarnya namun untuk memanfaatkan
potensi tersebut dan menjalankannya dengan benar masih banyak yang perlu
dibenahi. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pendekatan yang digunakan lebih
humanistik tidak hanya mementingkan hasil yang akan dicapai, akan tetapi juga
yang terpenting adalah bagaimana prosesnya, yang menempatkan manusia dalam
posisi bagaimanapun tetap sebagai subjek ekonomi yang tidak boleh dizhalimi
apalagi dieksploitasi. Target market yang demikian itu belumlah memadai
jika tidak dibarengi dengan perlindungan hukum bukan hanya terhadap keamanan
dan keabsahan produknya, prosesnya, dan para pelakunya juga kesyariahannya juga
tetap harus terjaga.
Dan kita
berharap semoga usaha dan langkah perbaikan terus dilakukan untuk sistem,
praktek dan maslahat yang lebih baik; tidak hanya bagi kondisi perbankan
syariah namun juga bagi kondisi ekonomi ummat. Amin.
Abuya KH.
Saifuddin Amsir
Makalah ini
dipresentasikan pada Seminar Perbankan Syariah di PP. AL-Musri' Cianjur Pada hari Ahad, 01 Desember 2013 M.
=======================================
Footnote:
1. Alqur’an Surat
Az-Zukhruf ayat 32: tentang distribusi kekayaan dalam Islam:
أَهُمْ
يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ
لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا
يَجْمَعُونَ (٣٢)
“32. Apakah mereka yang
membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam
kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang
lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang
lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”( Az-Zukhruf:32)
2. Alqur’an Surat
Al-Ma’arij ayat 24 dan 25: tentang hak setiap orang untuk mendapatkan hak/rizqi:
وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُومٌ O
للسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“(Dan orang-orang
yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu) yakni zakat.(Al-Ma’arij:24)”
لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“(Bagi orang miskin yang meminta dan orang yang
tidak mempunyai apa-apa) yang
tidak mau meminta-minta, demi memelihara kehormatannya sekalipun ia tidak
punya.( Al-Ma’arij:25)”
3. Alqur’an Surat
Ar-Rum ayat 39: tentang: larangan Riba (yang makruh, yakni Hibat dan Hadiah)
dan tentang anjuran Sedekah:
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا
لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَا
آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ
الْمُضْعِفُونَ
“Dan sesuatu riba
(tambahan) yang kamu berikan (yakni Hibah dan Hadiah) agar dia bertambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah (yakni
sedekah), maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya).” (Q.S
Ar-Rum:39)
4. Alqur’an
Surat An-Nisa ayat 160 dan 161: tentang larangan Riba (yang haram)
160. Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi,
kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan
bagi mereka, dan Karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
161. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal
Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta
benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang
yang kafir di antara mereka itu siksa (An-Nisa:
160-161)
5. Al-Qur’an
surat Ali Imron ayat 130: tentang larangan adh'afan mudho'afah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا
أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda] dan bertakwalah
kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Ali Imron :130)
6. Al-Qur’an surat Al-Baqarah
ayat 275 sampai 281: tentang ancaman Riba:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ
الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ
مِنَ الْمَسِّ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ
رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ
فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ﴿البقرة:٢٧٥﴾
275. Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila.(105) Yang
demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa
mendapat peringatan dari Rabbnya lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperoleh
dahulu menjadi miliknya(106) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang
siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
يَمْحَقُ اللَّهُ
الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
﴿البقرة:٢٧٦﴾
276. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.(107)
Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan
bergelimang dosa.(108)
إِنَّ الَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ
أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
﴿البقرة:٢٧٧﴾
277. Sungguh, orang-orang yang beriman, mengerjakan
kebajikan, melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di
sisi Rabbnya. Tidak ada rasa sedih pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.
(dan
seterusnya)(Al-Baqarah :275-281)
Cianjur, 05
Oktober 2017 M.
Ditulis ulang
oleh Burhan Rosyidi, Almusri’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar