Selasa, 03 Oktober 2017

MEMPERTANYAKAN PERBANKAN SYARIAH

(Makalah disampaikan pada Seminar Perbankan Syariah pada RE-UNI ke-9 PP. Almusri' tahun 2013 M.)





Fenomena menjamurnya bank yang berbasis syariah tidak hanya terjadi pada negara Eropa dan negara lainnya, di Indonesia pun tumbuhnya bank syariah yang diawali dengan lahirnya Bank Muamalat telah membawa suasana baru bagi ummat Islam di Indonesia. Selain sebagai alternatif lain dari sistem perbankan konvensional yang telah mengalami krisis dan likuidasi, menjanjikan profit yang melebihi dari praktek ekonomi konvensional, keinginan untuk menjalankan Islam secara kaffah demi memperoleh keuntungan duniawi dan ukhrowi juga membuat bank syariah menjadi solusi bagi kebanyakan muslim Indonesia. 



Dalam memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat dan persaingan bisnis, lembaga keuangan syariah dan bank-bank syariah membutuhkan beragam inovasi produk. Dan untuk penerapan produk yang inovatif, fatwa syariah dan regulasi yang mendukung sangat dibutuhkan eksistensinya. Sehubungan dengan itu peran Dewan Pengawas Syariah Nasional, Bank Indonesia dan peletak kebijakan lainnya menjadi sangat penting.



Berbagai fatwa telah dikeluarkan DSN-MUI sebagai upaya untuk  meningkatkan kualitas ummat Islam di tanah air terutama yang berkaitan dengan prektek perekonomian Islam. Namun pada prakteknya terdapat prosedur dan kebijakan bank-bank syariah yang bertentangan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional MUI. Kita dapat melihat fakta tersebut dari beberapa contoh berikut, seperti: akad Mudharabah (dimana keuntungan dan kerugian tidak ditanggung secara bersama oleh pihak bank dan penerima pembiayaan. Dalam hal ini yang menerima pembiayaan wajib mengembalikan modal secara utuh); lalu akad Murabahah (bank hanya berperan sebagai intermediasi tanpa pernah membeli barang yang dibutuhkan nasabah); lalu akad Gadai Emas/Rahn ( besar biaya administrasi pemeliharaan dan penyimpanan/marhun ditentukan berdasarkan jumlah dan persentase dari nilai piutang, jika bank syariah bersedia menerapkan fatwa tentang biaya penyimpannan marhun sesuai dengan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan, tentu pihak bank akan hanya menentukan biaya berdasarkan harga safe deposit box, bahkan dalam hal ini tampak bahwa bank syariah lebih mencekik dari bank konvensional). Dan akad-akad inilah yang paling banyak ditransaksikan dalam perbankan syariah di Indonesia. Dari sini dapat dipahami bahwa terjadi manipulasi ataupun pergeseran ketentuan yang diformat sedemikian rupa sehingga 'menjebak' semua pihak yang terkait (dalam hal ini pihak bank dan nasabah) untuk tetap mempraktekkan sistem ribawi yang justru harus ditinggalkan dalam sistem perbankan syariah.

Jika kita analisa ini dengan kaidah Al-umur bi maqashidihaa : segala perkara itu tergantung tujuan-tujuannya. Jika salah tujuannya maka salah pula akibatnya. Lalu bagaimana pula dengan akibat dari kesalahan perkara perbankan syariah ini? Tidak hanya ummat yaang dirugikan, sistem perbankan syariah pun menjadi 'rusak' karena tercampur unsur ribawi, lalu siapakah yang harus bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan kerugian dan kemudharatan ini?



Kemudian langkah apa yang harus diambil demi merubah pola akad 'tercemar' seperti ini?



Sebagaimana dapat kita pahami bahwa tujuan distribusi kekayaan dalam Islam adalah membangun sistem ekonomi yang dapat dilaksanakan tanpa adanya tekanan (Az-Zukhruf:32)1, setiap orang pun berhak untuk mendapatkan hak/rizqi karena sudah merupakan ketetapan Allah dan tidak terbatas pada orang-orang yang terlibat produksi saja (Al-Ma'arij:24-25)2, dan harta harus dapat berputar dengan baik pada seluruh lapisan masyarakat (Az-Zukhruf:32).



Riba bukan hanya persoalan ummat Islam. Berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius tentang riba. Dalam agama Yahudi, Nasrani, maupun dalam sejarah peradaban Yunani dan Romawi praktik riba merupakan prilaku sosial yang dilarang juga tidak disukai karena ketidakberpihakannya pada golongan lemah. Riba sendiri adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil dan bertentangan dengan kaidah prinsip dasar muamalat Islam. Peringatan Allah dalam Al-Quran tentang haramnya riba ditekankan dalam tahapan-tahapan: dimulai dengan Q.S Ar-Rum:39 3 dilanjutkan An-Nisa 160-161 4, lalu penekanan pada kalimat larangan adh'afan mudho'afah (double countable) pada Ali Imron :130 5, lalu Al-Baqarah :275-281 6. Dan banyak pula hadits yang menyebutkan tentang keharaman dan mudharat riba. Dengan riba terdapat ketidakadilan dalam perekonomian, dan orang pun akan malas berusaha.



(Sebagai bahan diskusi terdapat pandangan-pandangan utama tentang riba yang dijadikan bandingan:



1. Riba oleh A. Hasan



2. Riba menurut hasil diskusi tentang adh'afan mudho'afah  - beda antara interest dan usury -  di Perancis.)



Lalu, apakah bank syariah sudah pantas menyandang titel syariah? Yang notebenenya lebih dikarenakan demi menarik simpati ummat atau 'pasar'. Dan apakah bank syariah telah menerapkan Kaidah dan aturan sesuai syariah?

Banyak para penggiat perbankan syariah dan ulama yang mempertanyakan ke-syariah-an bank syariah.



Banyak bank syariah yang melanggar fatwa DSN MUI yang terkait keuangan syariah. 



Sejatinya nilai sesuatu itu pada hakikatnya bukan pada istilahnya. Walaupun nama istilah tersebut yang dilabelkan sudah syar'i tetapi belum tentu hakikatnya syar'i. Karena tidak semua nama yang menunjukkan syar'i itu mengandung kebenaran. Lalu haruskah dengan ini masyarakat meninggalkan bank syariah karena ternyata dengan bank konvensionalpun kebutuhan mereka terhadap perbankan pun dapat dipenuhi tanpa embel-embel syariah.



Namun demikian jika dipandang dari perspektif  kenegaraan, maka sistem ekonomi syariah bukanlah pilihan bagi warga negara melainkan sebagai alternatif yang tergantung pada komitmen, selera, keyakinan masing-masing, dan juga sangat ditentukan dengan hal-hal yang intrinsik yang melekat dalam sistem ini, sehingga memiliki daya pikat tersendiri dibandingkan dengan sistem konvensional, seperti keunggulan kompetitif, manusiawi, mendatangkan maslahat buat semua pihak, dan lainnya.



Bisnis syariah  ini memang mempunyai potensi yang begitu baik dari sisi investasi dan varian produknya maupun dari sisi pangsa pasarnya namun untuk memanfaatkan potensi tersebut dan menjalankannya dengan benar masih banyak yang perlu dibenahi. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pendekatan yang digunakan lebih humanistik tidak hanya mementingkan hasil yang akan dicapai, akan tetapi juga yang terpenting adalah bagaimana prosesnya, yang menempatkan manusia dalam posisi bagaimanapun tetap sebagai subjek ekonomi yang tidak boleh dizhalimi apalagi dieksploitasi. Target market yang demikian  itu belumlah memadai jika tidak dibarengi dengan perlindungan hukum bukan hanya terhadap keamanan dan keabsahan produknya, prosesnya, dan para pelakunya juga kesyariahannya juga tetap harus terjaga.

Dan kita berharap semoga usaha dan langkah perbaikan terus dilakukan untuk sistem, praktek dan maslahat yang lebih baik; tidak hanya bagi kondisi perbankan syariah namun juga bagi kondisi ekonomi ummat. Amin.







Abuya KH. Saifuddin Amsir

Makalah ini dipresentasikan pada Seminar Perbankan Syariah di PP. AL-Musri' Cianjur Pada hari Ahad, 01 Desember 2013 M.



=======================================



Footnote:

1. Alqur’an Surat Az-Zukhruf ayat 32: tentang distribusi kekayaan dalam Islam:



أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ (٣٢)



“32. Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”( Az-Zukhruf:32)



2. Alqur’an Surat Al-Ma’arij ayat 24 dan 25: tentang hak setiap orang untuk mendapatkan hak/rizqi:



وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُومٌ O للسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ



(Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu) yakni zakat.(Al-Ma’arij:24)”



لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ



 (Bagi orang miskin yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa) yang tidak mau meminta-minta, demi memelihara kehormatannya sekalipun ia tidak punya.( Al-Ma’arij:25)”



3. Alqur’an Surat Ar-Rum ayat 39: tentang: larangan Riba (yang makruh, yakni Hibat dan Hadiah) dan tentang anjuran Sedekah:



وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ



Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan (yakni Hibah dan Hadiah) agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah (yakni sedekah), maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (Q.S Ar-Rum:39)



4. Alqur’an Surat An-Nisa ayat 160 dan 161: tentang larangan Riba (yang haram)




160.  Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan Karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,



161.  Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa (An-Nisa: 160-161)



5. Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 130: tentang larangan adh'afan mudho'afah:



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ



Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Ali Imron :130)



6. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275 sampai 281: tentang ancaman Riba:



الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ  ﴿البقرة:٢٧٥﴾



275. Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila.(105) Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Rabbnya lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperoleh dahulu menjadi miliknya(106) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.



يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ  ﴿البقرة:٢٧٦﴾



276. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.(107) Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa.(108)



إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ  ﴿البقرة:٢٧٧﴾



277. Sungguh, orang-orang yang beriman, mengerjakan kebajikan, melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. Tidak ada rasa sedih pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.



(dan seterusnya)(Al-Baqarah :275-281)





Cianjur, 05 Oktober 2017 M.

Ditulis ulang oleh Burhan Rosyidi, Almusri’



Tidak ada komentar:

Posting Komentar